Kota Jambi, ibukota dari Provinsi Jambi, adalah kota yg terus terang tidak terlalu saya rindukan dibandingkan dengan kota-kota lainnya di pulau Sumatera. Tujuh tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakan kaki ke kota ini, kesan yg saya dapatkan adalah, tua. Hehe, no offense ya.
Tanggal 9 - 12 Februari 2012, atas perintah atasan, saya harus ke Jambi. Dulu saya menggunakan travel atau bis dari Palembang/Bengkulu/Padang ke Jambi, kali ini saya menggunakan pesawat. Bandara Sultan Thaha, tempat saya mendarat berukuran kecil, mirip dengan bandara di Bengkulu dan Banjarmasin tahun 2005 - 2007.
Memasuki Kota Jambi, saya melihat bahwa kota ini tidak banyak berubah. Bangunan - bangunan lama masih banyak, Sungai Batang Hari belum banyak berubah, Mal WTC pun masih seperti dulu dengan penambahan beberapa tenant brand yg sudah cukup familiar, Pasar Angso Duo masih sama, suasananya sama, hawanya sama, kepentingan saya untuk datang ke kota ini pun masih sama.
Kota Jambi tidak sebesar Bandung apalagi Jakarta. Hampir mirip dengan Bandung, banyak jalan yg dibuat satu arah di sini. Kemacetan jarang sekali ditemukan. Angkutan umum di dalam kota, sepanjang pengamatan saya hanya ada 2 dengan 2 warna yg berbeda, kuning dan biru. Di Jambi juga ada taksi, tanpa argo namun ber-AC. Ojek juga banyak terlihat nongkrong di pinggir jalan.
|
Kota Jambi dari Udara
(source : enjoy-tour-indonesia.blogspot.com ) |
Biarpun di mata saya Kota Jambi tidak banyak berubah, tapi senang sekali bisa datang lagi ke kota ini. Tujuh tahun lalu saya tidak banyak berinteraksi langsung dengan warga lokal, tahun ini iya. Yang mengejutkan saya, cukup banyak orang Sunda di sini. Bahkan, istri dari wakil walikota Jambi adalah orang Sunda asli!
Warga Jambi menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa ibu. Bahasa Melayu Jambi, sedikit berbeda dengan bahasa Melayu Padang dan Pekanbaru. Perbedaan yg sangat signifikan adalah : Jambi menyebut angka satu sebagai sikok, Padang menyebutnya ciek.
Tempat wisata di Jambi tidak banyak saya ketahui. Saya hanya tau Sungai Batang Hari saja :D. Orang lokal menyebut pinggir sungai ini sebagai Ancolnya Jambi. Di sana ada tempat nongkrong, penjual jagung bakar dan muda mudi berpasang-pasangan. Hehe. Oya, Sebelum berangkat ke Jambi, saya membaca informasi mengenai gerakan save situs Muaro Jambi di twitter dan di media. Saya ingin ke sana, tapi sayang waktunya tidak ada. :(
Tautan :
Next time ke Jambi lagi, misi saya bukan lagi untuk bekerja dan gak sempet kemana-mana. Saya pengen ke Kerinci, pegunungan Bukit Barisan dan mengunjungi Suku Anak Dalam. :)